Label

Sabtu, 16 Juni 2012

Ketulusan Cinta


Dara menerawang langit-langit kamarnya, bayangan masa lalu yang ingin ia lupakan kini hadir kembali. 1 tahun lamanya ia memendam rasa kecewa pada Rio, mantan kekasihnya yang tiba-tiba memutuskan berpisah dengannya. Dara sempat bingung, toh selama ini dia tidak pernah membuat kesalahan apa-apa dengan Rio, tapi kenapa tiba-tiba dia ingin berpisah? Ini tak masuk akal, pikir Dara saat itu.


“Tapi kenapa, Yo? Apa aku punya kesalahan sama kamu? Apa sikap aku ada yang kamu nggak suka?” saat itu Dara meminta penjelasan logis dari Rio yang tak berani menatapnya.
“Bukan, Dar… kamu tuh di mata aku sangat istimewa, dan akupun ternyata nggak pantes untuk milikin kamu, aku nggak lebih baik dari cowok-cowok lain,” Rio menatap Dara dalam-dalam tapi seketika itu pun juga ia melangkah menjauhi Dara.
“Alasan yang kamu buat bener-bener nggak masuk akal, dan kenapa kamu harus berpikiran kayak gitu? Aku nggak pernah ngerasa nggak cocok sama kamu, kenapa kamu rela nglepasin aku dengan alasan kamu nggak baik kayak cowok lain? Kamu tuh tetep yang terbaik di mata aku,” potong Dara yang membuat Rio berhenti dan berbalik lalu memeluknya.
“Maafin aku, Dar! Mungkin emang sebaiknya kita pisah, dan esok akan ada cowok lagi selain aku…” Rio melepas pelukannya lalu meninggalkan Dara yang terpuruk disana…
Dara terbangun dan tersadar kalo semuanya udah berakhir dan nggak ada yang bisa ngerubah waktu itu lagi. Dan sekarang pun ia tak tahu dimana Rio sekarang…


                                                                                                         ***
Pagi hari di sekolah, Dara berjalan di koridor. Ia hendak berlari namun tangan seseorang menepuknya.
Kiki Farel. Cowok berkulit putih, cakep, dan tentunya naksir Dara ini selalu menemui sang pujaan hatinya setiap saat untuk menarik perhatian Dara, namun tak satu pun sikap Farrel yang membuat Dara menerima cintanya.
“Kenapa, Rel?”
“Nggak, lo entar malam ada acara nggak?” untuk yang kesekian kalinya Farrel mengajak Dara dinner, namun sekian kali juga Dara menolaknya.
“Nggak! Emang kenapa?”
“Mau nggak dinner sama gue?” jantung Farrel udah mau copot, ia takut kalo akhirnya Dara tak mau diajaknya seperti hari-hari kemarin.
“Liat entar deh, kalo nggak sibuk ya? Akhir-akhir ini kan banyak banget ulangan. Entar gue kabarin ya? Dah.”
Dara meninggalkan Farrel ke dalam kelasnya, Farrel hanya mendengus pelan, mungkin memang ia harus bersabar untuk menarik perhatian Dara yang susah sekali untuk didekati.
“Dar, Farrel ngajak lo jalan lagi ya? Terus lo mau nggak? Mita langsung menyerbu Dara dengan pertanyaan.
“Gue nggak jawab! Lagipula entar kalo ada ulangan, gimana? Dinner juga nggak penting,”
“Dara Rizki yg cantik, lo mikirin nggak sih perasaan Farrel yang selalu ngajak elo jalan tapi nggak pernah lo turutin? Apa lo pikir dia nggak kecewa?”
“Kalo soal itu gue nggak nanggung, gue udah nolak dia dan ternyata dia masih nggak ngejauh, ya udah terserah dia.”
“Tapi kenapa lo nggak ngebuka hati buat dia sih? Farrel itu baik, Dar. Dia sayang banget sama lo! Sekarang lo pikir deh, untuk apa Ferrel terus ngikutin lo? Itu karena dia pengen cinta dari elo, Dar.”
“Gue masih nunggu penjelasan dari Rio, gue nggak mau nerima kata putus dari dia sebelum gue tahu alasan yang sebenarnya dia ninggalin gue.” Dara berkata tegas.
“Rio udah menghilang 1 tahun yang lalu, dan mungkin dia udah nggak inget elo lagi,” Mita menasehati Dara yang terus-terusan mikirin Rio yang kabur entah kemana.
“Rio mungkin bisa nglupain gue, tapi gue masih berharap banget dia bakal balik… dan nggak akan ada seseorang lagi sebelum Rio menjelaskan semuanya,”

Nggak ada yang bisa ngerubah keputusan Dara, dia akan tetep nunggu Rio menemuinya dan menjelaskan kisah yang sebenarnya belum bener-bener berakhir karena Dara tak pernah menerima kata putus dari Rio.

***

Dara menerawang langit-langit kamarnya, bayangan masa lalu yang ingin ia lupakan kini hadir kembali. 1 tahun lamanya ia memendam rasa kecewa pada Rio, mantan kekasihnya yang tiba-tiba memutuskan berpisah dengannya. Dara sempat bingung, toh selama ini dia tidak pernah membuat kesalahan apa-apa dengan Rio, tapi kenapa tiba-tiba dia ingin berpisah? Ini tak masuk akal, pikir Dara saat itu.


“Tapi kenapa, Yo? Apa aku punya kesalahan sama kamu? Apa sikap aku ada yang kamu nggak suka?” saat itu Dara meminta penjelasan logis dari Rio yang tak berani menatapnya.
“Bukan, Dar… kamu tuh di mata aku sangat istimewa, dan akupun ternyata nggak pantes untuk milikin kamu, aku nggak lebih baik dari cowok-cowok lain,” Rio menatap Dara dalam-dalam tapi seketika itu pun juga ia melangkah menjauhi Dara.
“Alasan yang kamu buat bener-bener nggak masuk akal, dan kenapa kamu harus berpikiran kayak gitu? Aku nggak pernah ngerasa nggak cocok sama kamu, kenapa kamu rela nglepasin aku dengan alasan kamu nggak baik kayak cowok lain? Kamu tuh tetep yang terbaik di mata aku,” potong Dara yang membuat Rio berhenti dan berbalik lalu memeluknya.
“Maafin aku, Dar! Mungkin emang sebaiknya kita pisah, dan esok akan ada cowok lagi selain aku…” Rio melepas pelukannya lalu meninggalkan Dara yang terpuruk disana…
Dara terbangun dan tersadar kalo semuanya udah berakhir dan nggak ada yang bisa ngerubah waktu itu lagi. Dan sekarang pun ia tak tahu dimana Rio sekarang…


                                                                                                         ***
Pagi hari di sekolah, Dara berjalan di koridor. Ia hendak berlari namun tangan seseorang menepuknya.
Kiki Farel. Cowok berkulit putih, cakep, dan tentunya naksir Dara ini selalu menemui sang pujaan hatinya setiap saat untuk menarik perhatian Dara, namun tak satu pun sikap Farrel yang membuat Dara menerima cintanya.
“Kenapa, Rel?”
“Nggak, lo entar malam ada acara nggak?” untuk yang kesekian kalinya Farrel mengajak Dara dinner, namun sekian kali juga Dara menolaknya.
“Nggak! Emang kenapa?”
“Mau nggak dinner sama gue?” jantung Farrel udah mau copot, ia takut kalo akhirnya Dara tak mau diajaknya seperti hari-hari kemarin.
“Liat entar deh, kalo nggak sibuk ya? Akhir-akhir ini kan banyak banget ulangan. Entar gue kabarin ya? Dah.”
Dara meninggalkan Farrel ke dalam kelasnya, Farrel hanya mendengus pelan, mungkin memang ia harus bersabar untuk menarik perhatian Dara yang susah sekali untuk didekati.
“Dar, Farrel ngajak lo jalan lagi ya? Terus lo mau nggak? Mita langsung menyerbu Dara dengan pertanyaan.
“Gue nggak jawab! Lagipula entar kalo ada ulangan, gimana? Dinner juga nggak penting,”
“Dara Rizki yg cantik, lo mikirin nggak sih perasaan Farrel yang selalu ngajak elo jalan tapi nggak pernah lo turutin? Apa lo pikir dia nggak kecewa?”
“Kalo soal itu gue nggak nanggung, gue udah nolak dia dan ternyata dia masih nggak ngejauh, ya udah terserah dia.”
“Tapi kenapa lo nggak ngebuka hati buat dia sih? Farrel itu baik, Dar. Dia sayang banget sama lo! Sekarang lo pikir deh, untuk apa Ferrel terus ngikutin lo? Itu karena dia pengen cinta dari elo, Dar.”
“Gue masih nunggu penjelasan dari Rio, gue nggak mau nerima kata putus dari dia sebelum gue tahu alasan yang sebenarnya dia ninggalin gue.” Dara berkata tegas.
“Rio udah menghilang 1 tahun yang lalu, dan mungkin dia udah nggak inget elo lagi,” Mita menasehati Dara yang terus-terusan mikirin Rio yang kabur entah kemana.
“Rio mungkin bisa nglupain gue, tapi gue masih berharap banget dia bakal balik… dan nggak akan ada seseorang lagi sebelum Rio menjelaskan semuanya,”

Nggak ada yang bisa ngerubah keputusan Dara, dia akan tetep nunggu Rio menemuinya dan menjelaskan kisah yang sebenarnya belum bener-bener berakhir karena Dara tak pernah menerima kata putus dari Rio.

                                                                                                         ***


Setiap hari Dara selalu melewati rumah Rio yang dulu, ia berharap bisa bertemu Rio duduk di depan rumahnya lalu melambaikan tangan sambil tersenyum menatapnya, namun tak pernah ia temukan sosok itu dan sering sekali ia melihat bayangan itu tapi sedetik kemudian hilang lagi. Dara selalu menanyakan keberadaan Rio pada tetangga sekitar rumah Rio, tapi nihil yang didapatnya, ia tak pernah mendapat jawaban keberadaan Dio yang sekarang.

Dara kembali ke rumahnya dengan perasaan campur aduk, entah karena capek, atau karena tak menemukan Rio di rumahnya. Seringkali Dara berfikir Rio benar-benar meninggalkannya dan nggak akan kembali. Tapi rasa kepercayaan Dara mengalahkan segalanya, ia akan terus bersabar sampai suatu saat nanti Tuhan akan mempertemukannya dan Dara yakin akan hal itu.

“Rio… aku masih nunggu kamu! Aku nggak akan ngebuka hati aku buat orang lain selain kamu… dan suatu saat nanti, kita bakal ketemu lagi, dan kamu akan memeluk aku, karena hati ini hanya dimiliki oleh satu orang, Cuma kamu…” Dara berkata di jendela kamarnya dan seolah-olah angin akan merekam ucapan Dara dan mengirimkannya pada Rio.

                                                                                                            ***
Dara dan Mita menelusuri mall selama 1 jam lamanya, mereka mencari buku untuk tugas di sekolah, namun tak juga menemukannya.
Dara menatap lurus seolah-olah ia melihat seorang yang selama ini memenuhi pikirannya, Rio. Dara melihat wajah itu kian berada di book store. Dan Dara yakin, ia tidak bermimpi.
Tanpa berpikir panjang lagi dan sebelum orang itu menghilang, Dara menghampiri sosok tegap itu tanpa memberitahu Mita. Ia gugup sekali, takut Rio tak mengingatnya lagi…



“Rio,” Dara memanggilnya penuh arti.
Sosok itu berbalik, dan betapa kagetnya saat ia melihat sosok gadis cantik di depannya. Rio pucat seketika melihat Dara sedang melihatnya. Dia pun hendak berlari dari tempat itu.
“Apa kamu tega ninggalin aku lagi, setelah sekian tahun menghilang?” sambar Dara cepat sehingga Rio pun menghentikan langkahnya.
Dara tahu apa yang akan ia lakukan, memeluknya. Di dekapnya cowok itu erat tanpa peduli orang-orang melihatnya. Dara sudah lama tidak mendekap tubuh cowok yang sangat ia cintai.
“Jangan konyol!” Rio berkata sekeras mungkin dan melepas tangan Dara dari tubuhnya. Dara kaget, ia tak menyangka Rio sudah benar-benar melupakannya.
“Rio… kamu nggak kangen sama aku?” suara Dara melirih, menahan rasa sakitnya. Rio terpaku sesaat mendengar suara lembut itu.
“Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Kamu harus ngerti,”
“Apa yang harus aku ngertiin lagi? Aku udah cukup ngerti untuk sabar nunggu kamu, tapi ternyata kamu nggak muncul-muncul untuk nemuin aku. Dan sekarang… aku bener-bener yakin nggak ada lagi aku di hati kamu kan? Kamu nggak mau ketemu aku, kamu ngehindarin aku, kamu nggak mau natap aku, kamu nggak mau aku peluk, itupun udah menjadi bukti aku nggak seberharga sampah yang mungkin malah lebih berarti daripada aku… apa kamu pikir setelah kamu menghilang dari aku, aku nggak bakal nyari kamu?” Dara mulai meneteskan air matanya, ia merasa dirinya sudah tak berarti bagi Rio.
“Jangan nangis! Aku nggak suka cewek cengeng!” Rio menjauh dari Dara seperti waktu Rio memutuskan hubungan dengan Dara 1 tahun yang lalu…

                                                                                                      ***


Rio masuk ke dalam rumah barunya, Dara melihat dari jauh di balik pohon halaman rumah Rio, Dara mengikuti langkah Rio saat ia keluar dari book store, dan sampailah ia di rumah Rio yang sekarang. Betapa senangnya Dara saat mengetahui dimana Rio tinggal dan ternyata dia baik-baik saja. Meskipun ia tak memperdulikannya…


Dara bertekad untuk menemui Rio di rumahnya, langkahnya pun gontai. Dara tak mau harapannya pupus di tengah jalan hanya karena Rio sudah melupakannya. Sesaat Rio muncul membukakan pintu saat ia mendengar ketukan.
Rio kaget melihat Dara, “Mau apa lagi?” Tanya Rio dingin.
“Aku belum mau berhenti ngejar kamu sebelum tahu apa yang terjadi,” jawab Dara tegar.
“Udah nggak penting lagi, Dar. Buat apa kamu terus ngikutin aku? Sampai kapanpun aku nggak akan ngasih alasan apapun! Dan nggak ada alasan yang mesti aku ucap,”
“Rio, aku tahu kamu punya alasan! Jangan kamu pikir aku bodoh, percaya gitu aja sama kamu yang mutusin aku tanpa sebab yang jelas! Kasih tahu aku,” jawab Dara cepat.
Sebelum Rio sempat menjawab, tiba-tiba muncul lelaki usia 40-an dan memakai pakaian putih sambil menenteng tas, seorang dokter.
Rio pucat melihat Dokternya itu datang saat Dara ada di rumahnya. Ia sudah tak bisa menyembunyikannya lagi.
“Rio, ini resep obat kamu, kemarin kamu sempat menelpon saya kan? Ya sudah, tebus lagi obatnya.” Dokter itu memberikan sebuah resep lalu pergi dari tatapan Rio.
“Kamu sakit?” Dara sempat tertegun melihat resep yang kini Rio pegang.
“Buat apa aku jawab? Lagipula Cuma sakit kepala aja kok, dan ini bukan urusan kamu,”
“Rio! Kenapa kamu nganggep aku kayak orang lain? Aku bukan orang lain…”
“Kalo kamu bukan orang lain, terus siapa? Kamu bukan siapa-siapa aku!!” Rio menjerit.
“Kamu inget, dulu kamu bilang sama aku kalo kita ini akan terus sama-sama… kalo pun kita pisah, kita akan tetep saling menyanyangi… tapi kamu udah ngingkarin janji kamu! Padahal kamu bilang itu saat aku ulang tahun, dan itu permohonan kamu kan? Tapi kenapa kamu boong?” Dara menangis lagi.
Rio diem, betapa ia ingin memeluk Dara namun tak juga mempunyai keberanian. Dia hanya menatap Dara yang sedang menangis.
“Buat apa kamu dulu sayang sama aku, kalo kamu akhirnya akan tega kayak gini? Buat apa???” Dara teriak histeris.
Rio menarik Dara ke dalam rumah, dia ingin menunjukan sesuatu.
“Kamu baca!”Rio memberikan dua lembar kertas putih pada Dara. Sesaat kemudian Dara terpaku dan membuka mulutnya lebar-lebar, kertas putih itupun jatuh ke lantai.
“Jadi ini? Ini alasan kamu ninggalin aku? Karena kanker otak?”  Dara tak bisa lagi untuk tidak meneteskan air matanya yang udah terbendung di pelupuknya.
Rio diem...
“Kamu pengecut! Kenapa kamu nggak ngomong sama aku dari dulu? Kenapa?” Dara menggoyang-goyangkan tubuh Dio yang lemas, karena gadis yang sangat dicintainya kini sudah mengetahui penyakit yang dideritanya.
“Aku nggak mau kamu kasihan ngliat aku dengan keadaan kayak gini,”kata Rio datar.
“Bodoh! Cuma karena itu? Apa kamu juga nggak kasihan sama aku yang terus nunggu selama 1 tahun, hanya demi penjelasan dari kamu?” Dara menjatuhkan lututnya ke lantai dan menangis sepuas hatinya.
“Jangan cengeng, Dar! Aku nggak mau kamu tangisin,”
“Aku nggak nangisin kamu! Aku kecewa sama diri aku sendiri yang baru menyadari kalo... ”
Dara tak melanjutkan kata-katanya, tangisnya semakin kenceng. Rio pun mengangkat Dara dan membantunya berdiri.
“Maaf…”Rio memeluk Dara.
Dara menangis dalam pelukan Rio yang erat, dan Dara benar-benar kalut sekarang, ia akan terus bersama Rio atau tidak…?
“Dar, dengerin aku…” Rio berkata halus lalu mengusap air mata Dara yang terus mengalir deras di pipinya, “Kamu jangan nangis lagi ya? Entar kalo aku udah pergi… kamu baru boleh nangis. Tapi jangan--,”
“Diem!!! Aku nggak mau denger itu lagi!” Dara menutup telinganya.
“Maafin aku... aku harus ninggalin kamu. Meski itu bukan kehendak aku, tapi aku harus terima takdir ini…”
“Rio, percaya sama aku! Kamu nggak akan kemana-mana, kamu akan tetep disini sama aku! Kita udah janji untuk saling sama-sama, untuk--,”
“Sssstt…”Rio menaruh jari telanjuknya di bibir Dara. “Jangan terlalu berharap banyak, Dar. Belum saatnya…” potong Rio lirih dengan mata yang berkaca-kaca.
“Harusnya kamu bilang sama aku dari dulu! Tapi kenapa kamu ngerahasiain ini semua dari aku? Apa aku nggak berhak tahu?”
“Aku nggak mau kamu ikut repot! Aku pengen kamu bahagia sama cowok yang nggak pernyakitan kayak aku… nggak pantes! Kamu udah nggak pantes deket-deket aku lagi, Dar.”
“Nggak! Asal kamu tahu aja, aku nggak pernah punya hubungan sama cowok lagi setelah sama kamu! Aku nggak mau posisi kamu di hati aku tergeser sama orang lain,”
Rio mencium kening Dara, dia benar-benar beruntung memiliki seseorang yang sangat mencintainya.
“Aku tahu… tapi kamu nggak tahu, setiap hari aku selalu ngikutin kamu kemana pun kamu pergi. Ke sekolah, jalan-jalan sama Mita, dan aku nggak pernah liat kamu sama cowok. Malahan kamu selalu lewat depan rumah aku yang dulu saat kamu pulang sekolah. Aku lihat kamu waktu itu duduk di jendela sambil neriakin nama aku… aku tahu semuanya, Dar.” Jelas Rio details dari yang ia ketahui.
Dara melongo, ia tak menyangka Rio mengikutinya, “Aku tahu kamu masih sayang sama aku, tapi kamu janji ya nggak akan ninggalin aku?”
“Iya, aku akan terus ada di samping kamu, jadi aku bisa liat anak kamu nanti, terus aku bakal tersenyum liat kamu sama suami kamu, tapi aku hanya bisa liat dari surga.” Jawab Rio tersenyum pada Dara.
“Kenapa kamu ngomong gitu sih? Apa kamu emang kepingin jauh dari aku? Aku nggak mau kamu ngrelain aku buat orang lain,”
“Dar, suatu saat pasti kamu punya suami… kamu hidup sama dia, sedangkan aku nggak, aku nggak bisa kayak kamu yang hidup lama…”
“Aku bilang kamu jangan ngomong itu! Kamu nggak boleh putus asa, Rio. Semuanya akan baik-baik aja…”
Rio mengembangkan senyumnya pada Dara yang terus saja menangis. Tapi nggak lama setelah itu, Rio memegangi kepalanya yang terasa berguncang hebat. Ia benar-benar tak bisa menahannya lagi.
“Yo… kamu kenapa? Kamu nggak bercanda kanYo…?” Dara menutup mulutnya dan air matanya pun semakin deras melihat kekasihnya meraung-raung kesakitan, “Rio, obat kamu mana?! Cepetan kasih tahu aku! Dimana?” Dara mulai gelisah.
“Nggak, Dar! Obat aku sebenernya udah habis. Makanya dokter tadi nganterin resep obat yang mesti aku tebus. Tapi aku belum ke apotek kan? Aku…aku…” rasa sakit kepala Rio sudah tak bisa dikendalikan lagi, tanpa obat.
“Sekarang aku harus nebus!” Dara dengan cepat meraih resep yang tergeletak di meja. Tapi Rio mencegahnya.
“Ngapain kamu? Udah nggak ada waktu lagi! Apotek jauh, Dar!”
“Kalo gitu aku telpon Dokter!” Dara beranjak menelpon Dokter yang tadi menemui Rio.
“Aaaaaa... ”
Dara menoleh, dilihatnya Rio kejang-kejang, ia langsung berlari memeluk Rio tapi tak mungkin, Rio sekarat.
“Kamu sabar ya… aku akan bawa kamu ke rumah sakit,” Dara berkata di sela-sela tangisnya.

                                                                                                  ***


Dara menghampiri Rio yang kini terbaring di rumah sakit, ia sudah sadar, dan Rio kini sudah bisa melihat Dara lagi.
“Rio…” Dara merintih.
Rio tersenyum.
“Bisa-bisanya kamu senyum dengan keadaan kamu kayak gini!” Dara membentak lirih, “Inget. Kamu jangan tinggalin aku, kalo kamu ninggalin aku, aku nggak akan maafin kamu!”
“Itu berarti kamu marah sama Tuhan, bukan sama aku!”
Dara menghela nafas… lalu mengeluarkannya.
“Rio, kata dokter kamu… kamu bisa selamat Asalkan kamu mau ya di operasi,”
“Itu nggak akan pernah aku lakuin! Aku nggak mau lupa sama kamu, sama kenangan kita, Dar. Biarin aku mati, tapi aku masih bisa inget kenangan kita.”
“Rio… aku janji, kalo aku bakal ngingetin kamu terus! Aku akan sabar, tapi kamu mau ya? Please… untuk aku?” Dara terus membujuk Rio.
“Dar, aku nggak akan mau. Kamu mungkin bisa ngomong gitu. Tapi kalo aku nggak bisa inget? Aku nggak mau jadi beban buat kamu…”
“Tapi apa kamu tega, ninggalin aku?”
Rio meraih tubuh Dara dan memeluknya erat. Mungkin ini adalah pelukan terakhirnya…
“Aku sayang kamu, Dar!” kata Rio masih memeluknya
“Aku juga, Yo. Kamu jangan pergi ya? Aku nggak bisa jauh dari kamu... ”
Namun pelukan itu tiba-tiba terlepas, dan Dara pun bisa merasakannya. Betapa terkejutnya ia saat melihat Rio yang tak tersadar, Dara mendekatkan telinganya di dada Rio, tak terdengar lagi detak jantungnya. Berarti...
Dara menjerit, ia lalu pingsan dan terjatuh tepat di atas tubuh Rio.
***


Tepat 1 tahun kematian Rio, dan Dara pun pergi ke pemakaman tempat ia dimakamkan.
“Pagi, Rio… kamu masih inget nggak permohonan kamu yang kamu ucapin waktu ulang tahun aku? Kamu minta supaya kamu bisa sama-sama aku terus. Dan kamu inget nggak, kamu pernah ngasih kado kalung buat aku... aku masih simpen, tapi... aku kembaliin ya? Mungkin dengan kayak gini, aku bisa tenang. Kamu tahu nggak, aku lulus! Barusan aja aku liat pengumuman di sekolah. Rio … kalo aja, kamu sekarang di deket aku, pasti aku sama kamu lagi ngerayain kelulusan kita...” kata Dara lalu meletakkan kalung yang dibawanya di atas gundukan tanah itu.
“Makasih atas semuanya!” Dara meninggalkan pemakaman Rio dan masuk ke dalam mobilnya…

***
_The End_





Tidak ada komentar:

Posting Komentar